Senin, 15 Desember 2008

Membaca Pemilu 2009

Membaca Pemilu 2009

Oleh Abu Dja’far

Pemilu semakin dekat, partai politik mempersiapkan diri menyongsong pesta demokrasi lima tahunan. Kampanye calon wakil rakyat menjajakan diri ke publik semakin ramai. Baliho, spanduk banner bertebaran di jalan dengan segenap citra caleg dan janji politik pro rakyat. Media elektronik juga tak ketinggalan tak pernah sepi menayangkan iklan calon presiden 2009. Debat partai ataupun the candidat of president menampilkan tokoh-tokoh muda maupun muka lama yang sudah lama kita kenal sebelumnya. Pendek kata tayangan televisi maupun media cetak kini tak jauh dari urusan politik.

Menurut laporan lembaga survey menyatakan bahwa popularitas SBY masih cukup tinggi ratingnya dibanding nama-nama semacam megawati, amin rais, sri sultan, wiranto,sutioso maupun prabowo, lebih-lebih sutrisno bachir notabene ketum PAN itu. Laporan survey menyimpulkan bahwa tayangan iklan calon presiden dimedia elektronik tidak selalu mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya. Contoh mudahnya hingga saat ini popularitas sutrisno bachir maupun wiranto selalu dibawah SBY maupun megawati. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pemilih masih setia pada tokoh-tokoh sebelumnya dan tidak terpengaruh pencitraan maupun polesan iklan politik ditelivisi.

Membaca gambaran pemilu kedepan dan tingkat partisipasi masyarakat didalamnya mungkin masih belum pasti, sementara laporan hasil survey tidak dapat dijadikan patokan untuk mengukur sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat ikut mensukseskan pesta demokrasi rakyat itu. Karena bagaimanapun sifat dari survey adalah responden representatifnes dari keseluruhan gambaran masyarakat yang diambil dari hasil jajak pendapat meskipun disana disebutkan bahwa batas toleransi ( marginal error ) survey itu secara maksimum lima persen.

Dalam sebuah masyarakat politik dikenal adanya kelompok masyarakat yang tak tersentuh oleh media dan mereka adalah pihak mayoritas dan tersebar dimana-mana. Mereka ini dalam bahasa politik disebut sebagai silent society. Bagi mereka pilihan politik adalah bagian dari kesetiaan dan mereka ini umumnya tidak peduli gonjang-ganjing elit politik ibukota. Logika politik yang mereka gunakan sangat sederhana yaitu kesetiaan pada tokoh yang berdasarkan kharisma tertentu yang bersifat turun temurun. Kasus pasukan berani mati dari jawa timur ataupun stempel darah pendukung mega wati menunjukkan gambaran jelas dari masyarakat diatas.

Makanya tidak heran bila genderang golput semakin keras dari silent society ini manakala tokoh idolanya gagal maju berkompetisi meraih kursi kekuasaan. Fenomena golput yang mencapai 25 % diberbagai pilkada mestinya harus dibaca dari perspektif ini bila pemerintah menginginkan pemilu kedepan diikuti oleh masyarakat keseluruhan.

Pendidikan politik masyarakat juga sejak dini harus disosialisasikan, sementara pada saat yang sama sikap netral penyelenggara pemilu ( baca KPU ) harus ditingkatkan, karena bagaimanapun cost yang besar untuk hajatan pemilu jangan sampai menghasilkan pemimpin yang muncul dari masyarakat yang apatis terhadap pemilu yang ujung-ujungnya mengganggunya dalam pengambilan kebijakan politik strategis. Sudah saatnya kebhinekaan kepentingan disatukan dalam visi membangun bangsa kearah kesejahteraan dan kemakmuran bersama dengan melibatkan sebanyak-banyaknya elemen masyarakat dalam pesta demokrasi dengan tetap memegang prinsip siap kalah dan mengakui kemenangan lawan politik. Selamat berdemokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar