Minggu, 18 Juli 2010

Kemanusiaan dalam Agama

Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada kecuali jika mereka berpegang pada tali(agama)Allah dan tali(perjanjian) dengan manusia…Q.S:Ali Imran:112.
Islam memberikan pelajaran penting bahwa kebahagiaan sejati itu apabila umat islam secara teguh berpegang pada tali Allah dan tali kemanusiaan. Pada tali Allah berarti sepenuhnya beribadah karena semata-mata penghambaan diri padaNya, bukan karena menginginkan harta, jabatan, ataupun kepentingan lainnya yang bersifat dunia. Adapun tali kemanusiaan merupakan realisasi dari rasa keagamaan yang muncul dari dalam sanubari orang yang beriman. Tanpa salah satu dari keduanya maka bukanlah kebahagiaan melainkan justru kehinaan yang kita dapati sebagaimana ayat diatas.
Tenggelam dalam ibadah ritual sembari acuh terhadap lingkungan social justru hanya akan menimbulkan aleniasi diri dari lingkungan tempat kita tinggal. Sementara mengabaikan hubungan vertical dengan Tuhan karena terlalu sibuk maka hal yang demikian tidaklah bernilai dihadapan Tuhan.
Dikatakan dalam satu ayat “ wahai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kalian dari jenis laki-laki dan wanita dan kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal, sesungguhnya yang paling mulya diantara kalian disisi Allah adalah yang paling bertakwa diantara kalian”.
Secara tepat ayat diatas menunjukkan pesan penting agama dalam pesan kemanusiaan yang terdapat pada ungkapan ta’aruf(saling mengenal) dan atqokum( paling takwa diantara kalian). Pada kata ta’aruf jelas dimaksudkan bahwa salah satu tujuan penting diciptakannya manusia adalah untuk saling menjalin hubungan agar kehidupan manusia tetap berlangsung yang didalamnya itu tercipta saling membutuhkan diantara mereka, kaya-miskin, tua-muda, barat-timur, maupun pria-wanita, Palestina-Indonesia.
Seperti yang digambarkan ayat lain:“kami angkat sebagian derajat mereka atas yang lain agar sebagian mereka menjadikan sebagian yang lain sebagai penolong”, dan sebaiknya agar terhindar situasi seperti yang digambarkan ayat:” agar tidak terjadi harta (boleh jadi harta itu berupa kedudukan politik,sosial, maupun akses) itu senantiasa berputar diantara orang-orang yang kaya diantara kalian”.
Adapun pengertian “atqokum” itu bahwa nilai yang diukur dalam diri seseorang adalah ketakqwaan dihadapan Allah. Dalam konteks ta’aruf, pengertian takwa diatas tentu saja adalah nilai-nilai taqwa yang melandasi setiap manusia dalam membangun hubungan social sehingga membentuk suasana harmoni diantara sesama.
Nabi sendiri pada satu kesempatan menyatakan dalam sabdanya:” Sebaik-baik manusia itu mereka yang paling bermanfaat buat sesama”. Hadis ini menyeruhkan nilai universal kemanusian yang yang dibungkus dalam anjuran Nabi tentang hidup bermanfaat: seruan untuk hidup social, hidup bermasyarakat, sehingga tidak lagi dalam kehidupan ada sekelompok manusia yang yang terpisah dalam pergaulan global.


Ketika Nabi sampai di Madina (dahulu bernama Yasrib)termasuk hal pertama yang beliau lakukan adalah menyatukan klan-klan yang ada disana dalam bingkai kemanusiaan yaitu piagam Madina, Madina charter. Piagam Madina atau Konstitusi Madina ini bersifat mengikat antar anggota masyarakat tanpa memandang latar belakang primordialnya. Setiap anggota masyarakat Madina memiliki hak- kewajiban yang sama dan setara dihadapan hukum piagam Madina .
montgomery watt dalam bukunya muhammad at madina menyatakan bahwa salah satu pasal penting yang menyebutkan kesetaraan kedudukan komunitas madina:
Kaum yahudi menanggung beban biaya bersama kaum beriman (muslim) selama mereka menghadapi peperangan, dan bahwa kaum yahudi bani ‘Auf adalah satu umat bersama kaum beriman. Bagi kaum yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim agama mereka.
Tindakan-tindakan Nabi selanjutnya dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan adalah menghapus perbudakaan dengan system memerdekakan budak (itqur roqobah). Penghapusan perbudakan itu masuk dalam system hukum syari’at islam. Dapat kita menjumpai dibanyak ayat-ayat Al-Qur’an yang tegas menyatakan kewajiban hukum memerdekaan budak bagi orang yang melanggar aturan agama seperti yang termaktub dalam ayat-ayat tentang qotl(pembunuhan), ayat-ayat sumpah, dll. Makanya tidak heran ketika akhir masa ke-Nabi-an beliau sudah tak terhitung jumlah budak yang merdeka.
Bahkan lebih dari itu cara beliau mengangkat kedudukan eks budak dalam pergaulan sangat mengagumkan. Sahabat Bilal merupakan eks budak berkulit hitam pertama yang mengumandankan Azan.azannya Bilal bukan semata-mata kualifikasi suara yang dimilikinya karena tidak sedikit sahabat yang juga memiliki suara bagus. dalam hal ini praktek Nabi, telah menghapuskan segala latar belakang apapun baik status, etnis, maupun warna kulit. Satu-satunya ukuran yang dipakai adalah kemanusiaan dalam payung islam.
Demikianlah bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. nilai asasi yang dibawa manusia sejak kelahirannya. Islam sangat mengecam tindakan apapun yang bertujuan merobohkan nilai kemanusiaan yang coba dilakukan oleh siapapun. Bukti tindakan perindungan islam terhadap kemanusiaan yaitu bahwa perlindungan terhadap kehidupan seseorang sama dengan perlindungan terhadap seluruh umat manusia. Sebaliknya tindakan menghilangkan satu nyawa manusia sama halnya menghilangkan kesempatan hidup seluruh umat manusia.
Bahkan dalam hal keyakinanpun islam tegas menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam hal agama. Seseorang dipersilahkan menentukan pilihan keyakinan masing-masing secara bebas tanpa ada unsur penekanan. Islam, dalam hal ini rasul, hanya sebatas menyampaikan hal yang benar kepada manusia. Selebihnya keputusan ada ditangan mereka masing-masing apakah menerima islam ataukah tidak.
Itulah nilai-nilai kemanusiaan yang diangkat oleh islam dari dalam lumpur peradaban manusia. Nilai yang lama redup bahkan mungkin hilang akibat dari penindasan manusia atas manusia. Nabi disaat khutbah wada’nya menyatakan bahwa darah, harta, dan kehormatan manusia adalah haram bagi sesamanya. Tidak ada lagi seseorang tanpa alasan yang benar menumpahkan darah saudaranya ataupun mengambil hartanya bahkan melecehkan kehormatannya.

Selasa, 13 Juli 2010

ikhtiar memahami makna Al-Qur’an secara sederhana

(bagian pertama)
Alqur’an seperti yang kita ketahui merupakan kumpulan kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan pada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril. Sebagai kitab pedoman umat islam dan semua manusia pada umumnya, Al-Qur’an sangat penting untuk dipahami oleh karena fungsi Al-Qur’an sendiri sebagai petunjuk –hudan lilmuttaqiin- memuat informasi penting bagi manusia: baik tentang Tuhan, hakikat manusia, saint, sejarah dan banyak lagi hal yang belum tersentuh oleh akal manusia.
kebutuhan untuk memahamai Al-Qur’an senantiasa tumbuh dalam setiap generasi umat manusia baik mereka dari kaum muslimin sendiri maupun para pengkaji Al-Qur’an dari barat yang notabene sebagian besar bukan dari kelompok umat islam. Maka tidak heran bila ada ungkapan bahwa Al-Qur’an merupakan satu-satunya buku yang paling banyak menyedot minat untuk dijadikan bahan kajian. Tidak ada dalam sejarah manusia sesuatu yang memiiki daya pikat yang melebihi Al-Qur’an. Sudah tak terhitung berapa banyak buku hasil karya pemerhati Al-Qur’an namun hingga kini tetap tak menyurutkan para pengkaji Al-Qur’an untuk membuka sisi Al-Qur’an yang belum terkuak.
Oleh karena itu mengetahui disiplin ilmu-ilmu yang menunjang pemahaman Al-Qur’an sangat dirasa penting karena tanpa mereka hampir sangat mustahil seseorang dapat menguak maksud yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri pada satu kesempatan meyatakan bahwa disamping dalam dirinya ada ayat-ayat muhkamat juga terdapat ayat-ayat mutasyabihat yang membutuhkan tafsir/takwil.
Dengan demikian diperlukan satu ikhtiar bagaimana cara memahami Al-Qur’an dari basic dalam rangka mengembangkan minat menafsirkan Al-Qur’an lebih lanjut. Dawam Rahardjo dalam satu bukunya “Ensiklopedi Al-Qur’an” mencoba mengupas dalam pengantarnya metodologi menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kata kunci. Beliau menyatakan bahwa salah satu cara mudah untuk mendapatkan pemahaman dasar ayat-ayat Al-Qur’an adalah masuk melalui kata-kata yang menjadi kata kunci ayat tersebut. Apabila kita dapat mengidentifikasi kata kunci dalam satu ayat maka hal itu merupakan satu langkah untuk menguak arti yang dimaksud Al-Qur’an.
Satu contoh sederhana kita lihat QS:Al-Kautsar. Dikatakan pada ayat pertama” innaa a’thoinaa ka alkautsar”. Sesaat setelah kita membaca petikan ayat diatas segera terlintas bahwa kata kunci ayat tersebut adalah alkautsar. Kata tersebut bermakna “nikmat yang banyak”. Kira-kira ayat diatas artinya” sesungguhnya kami telah memberimu nikmat yang banyak. Semua sudah mafhum bahwa yang dituju dari pembicaraan diatas adalah Rasul Muhammad. Yang menjadi pertanyaan diatas adalah “nikmat yang banyak” yang mana yang telah Allah berikan pada Muhammad? bukankah Al-Qur’an telah menyatakan bahwa “apabila kalian menghitung nikmat Allah maka tidak akan dapat menghitungnya….”. tentu saja banyak sekali Al-qur’an menyinggung rahmat Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad sampai satu kesempatan dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa Allah telah memberikan nikmat yang tidak pernah terintas -dan diharapkan- dalam benak Rasul, seperti dalam: “dan engkau sekali-kali tidak akan pernah mau meminta untuk diberikan Al-Qur’an kecuali atas rahmat TuhanMu”:QS:Qhoshos:86.
Kembali pada masalah diatas bahwa dengan mengajukan pertanyaan sederhana seperti diatas kita dapat mengetahui bahwa sesungguhnya jawaban mudah dapat diperoleh dengan segera. Misalnya bila kita mengkorelasikan pertanyaan itu dengan surat Al-Insyirah(melapangkan/ kelapangan) maka kita akan mendapatkan beberapa jawaban dari satu pertanyaan diatas. Demikian makna sederhana maksud dari Al-Kautsar.
Ada satu contoh mudah lagi cara memahami Al-Qur’an. Umpama saja apa tafsir dari ayat “wal fajr”? bagaimana Al-Qur’an memahami ayat itu menurut dirinya sendiri? Bukankah Al-qur’an adalah ahsana tafsira ? langkah sederhana dan yang pertama adalah kita harus mengakumulasi berapa banyak kata Al-Fajr disebutkan Al-Qur’an, setelah itu kita mencari apa kata dasar dari kata tersebut. Ataupun dalam konteks apa saja Al-Qur’an menggunakan kata Al-Fajr. Sebagai jawaban sederhana yang sedikit banyak membantu untuk memahami kata Al-Fajr kita lihat QS:Al-Baqarah:187: “Dan makan-minumlah hingga menjadi jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari waktu fajar”. Dari ayat itu pemahaman sederhana telah diperoleh bahwa Al-Fajr adalah waktu diantara benang hitam(bayangan hitam)dan benang putih(bayangan putih). Demikian sedikit ulasan singkat tentang ikhtiar tafsir Al-Qur’an. Insya Allah diwaktu mendatang dapat kita sambung kembali.