Selasa, 13 April 2010

artis berpolitik

julia peres nyalon bupati pacitan, ada yang aneh? ataupun maria eva nyalon bupati sidoarjo???. beberapa minggu ini berita sekitar pilkada diwarnai oleh tampilnya artis panas ikut ambil bagian pesta rakyat lima tahunan. sebenarnya tidak ada yang aneh bila artis mencoba "peruntungan" politik karena dalam demokrasi setiap individu boleh mencalonkan atau dicalonkan parpol, yang penting yang bersangkutan memiliki kapabilitas dalam visi kedepan bagaimana meningkatkan taraf kehidupan rakyat yang dia pimpin melalui pemerintahan.
rano karno ataupun dede yusuf merupakan sedikit contoh lokal bagaimana seorang artis merambah dunia politik dan sukses menjadi bupati maupun wakil gubernur.artis semisal qomar, eko patrio, mi'ing, mandra,mereka mewakili kelompok komedian, ataupun wanda hamida, nurul arifin, oneng, adalah sebagian dari nama yang lolos ke senayan dimana mereka berangkat dari keartisannya dalam meniti karir politik.
namun demikian lantas mengapa ketika julia peres ataupun maria eva terjun dunia politik banyak suara minor dari masyarakat muncul? bukankah syarat dukungan parpol sudah ditangan? apakah ini hanya sekedar strategi politik parpol pengusung ataukah memang tidak ada pilihan lagi selain mereka berdua yang memiliki nilai jual politik pilkada?
sebenarnya bila kembali pada fatsoen politik setiap orang memiliki hak politik termasuk hak untuk mencalonkan atau dicalonkan, masyarakatlah yang akan menentukan hasilnya. masih ingat dalam memori kita bagaimana ketika megawati mendapat perlawanan politik ketika mencalonkan diri sebagai presiden, melalui media opini masyarakat digiring sedemikian rupa yang muaranya adalah menolak megawati. termasuk saat itu fatwa ulama yang menyatakan lebih baik memilih sesuatu yang telah disepakati dari pada sesuatu yang masih diperdebatkan (alkhuruj min alkhilaf mustahab).
dalam kasus JUPE maupun ME, masyarakat merasa gerah karena melihat latarbelakang mereka sebagai artis panas. apalagi ketika JUPE ditanya tentang kemungkinan tampil toples apabila lolos, dia menjamin tidak akan tampil seksi karena posisi dia bila menjadi bupati. tentu saja jawaban itu seolah-olah bahwa politik menjadi tempat pertobatan artis-artis panas.
JUPE dan ME tidak bersalah apabila menerima lamaran politik karena bagaimanapun tidak semua orang punya peluang yang sama. bagi mereka tidak penting kapabilitas, itu urusan belakangan. yang patut dituding untuk kasus ini adalah ketidak mampuan parpol. jelas dalam hal ini parpol telah mengalami kemandegan kaderisasi. oleh karena itu menurut hemat saya lebih baik JUPE menolak tawaran parpol.

Senin, 12 April 2010

merubah kultur

tidak mudah bagi seseorang dapat merubah kebiasaan atau kultur, lebih-lebih kebiasaan yang kurang bagus. diperlukan keberanian ekstra untuk usaha merubah kebiasaan jelek. satu contoh dimasyarakat kita tumbuh kultur jam karet (sering terlambat, molor) kurang disiplin dan kurangnya penghargaan terhadap waktu.maka tidak heran bila ada satu orang mencoba tepat waktu maka akan banyak komentar dari sekelilingnya.
ada satu pertanyaan menggelitik mengapa timnas sepakbola kita kurang lebih dalam satu dasawarsa terakhir tidak pernah tidak pernah menggondol piala diberbagai kejuaraan, meski level ASEAN. alih-alih dapat mengalahkan Tailand ataupun singapura, sama vietnam saja kita sering kedodoran. paling jauh kita hanya menang sama malaysia, mengapa ? untuk kasus kita menang sama malaysia karena lebih ditentukan perasaan "dendam" politik nasional yang kebawa-bawa dalam urusan sepakbola.
lain lagi ketika membaca berita kekalahan pecatur nasional kita, susanto megaranto. apa komentar pengamat kita? bahwa susanto kurang kreatif dalam mengembangkan pola permainan. artinya bahwa susanto kurang latihan karena latihan itu yang akan dapat mengembangkan kreatifitas pola permainan catur.sama artinya bahwa selama ini dia hanya terpaku pada skema permainan yang dia pelajari dalam diktat permainan catur.
dalam dunia usaha dan pendidikan juga kita mendapati bahwa secara kultur sesungguhnya kita malu sebagai bangsa yang rendah dalam profesionalitas. kita beberapa tahun ini dikenal sebagai bangsa yang paling korup, boros budget, meski orde pemerintahan kita berubah. orde reformasi hanya sebatas perubahan pucuk pimpinan belum masuk kedalam reformasi mentalitas kerja dan dedikasi dalam pekerjaan. menurut salah satu hasil risert menyatakan bahwa kita sama malaysia dalam hal penerbitan buku dalam tiap tahunnya. salah satu hasil risert itu juga menyatakan bahwa ini menunjukkan sangat kecilnya minat baca kita sebagai bangsa.
lantas bagaimana cara merubah kultur negatif yang lama tumbuh dan menjadi stigma bangsa kita ?
kita harus merubah filosofi hidup kita sebelum melakukan perubahan lainnya karena filosofi merupakan landasan utama yang menjadi basic bagi setiap gerak dan eskpresi hidup kita. apabila filosofi hidup kita salah maka sangat sulit untuk mencapai tujuan kehidupan yang benar. sebaliknya bila filosofi hidup kita benar maka kemungkinan besar tujuan hidup kita juga benar. filosofi hidup ini sangat terkait dengan bagaimana cara berfikir kita (mainset). satu contoh cara berfikir kita yang salah, ketika presiden Gus Dur keliling eropa dalam masa-masa pemerintahnnya yang menghabiskan dana 58 milyar seketika semua orang komentar mengapa mengahabiskan dana segitu besar untuk tujuan yang kurang jelas( demikian kira-kira komentar tersebut)mendingan dana itu untuk pembanguna fisik pendidikan nasional kita? saya pikir itu bukan solusi dari ketidaksetujuan kebijakan Gus Dur keliling eropa( terlepas pro-kontra) karena pada saat yang sama mental korup pejabat kita sudah sangat akut. kita yakin seberapa pun pemerintah menggelontor uang untuk memajukan pendidikan nasional maka hasilnya tetap saja baik dari segi kualitas maupun kunatitas, karena dana itu tidak akan tersalurkan sampai kemasyarakat. dana itu PASTI akan dikorup oleh pejabat yang matanya pasti akan hijau bila melihat uang yang banyak.
di negeri kita pensiunan jenderal sepertinya nggak ada matinya. lepas dari kedinasan bisa berkiprah kemana-mana: KONI, PSSI, PARPOL, ORMAS, dll. tragisnya lagi masyarakat kita juga masih belum bisa lepas dari hegemoni tentara, seolah olah tentara bisa apa saja sampai urusan sepakbola. parameter yang digunakan untuk menilai kemampuan sesorang dinegeri kita masih sangat simplistik kalau nggak tentara ya konglomerat. padahal ada ungkapan bijak menyatakan the right man on the right place.
pendek kata sepertinya kita masih perlu belajar lagi bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri secara cerdas sehingga dari situ kita semua dapat merubah kultur kita sendiri.

Jumat, 09 April 2010

makelar

makelar sudah mengakar disemua lini kehidupan kita. tidak usah jauh-jauh ketika kita buat SIM di samsat disana banyak orang yang menawarkan jasa untuk memproses pembuatan SIM dengan cepat. sebenarnya makelar itu sama seperti halnya pekerjaan lainnya, artinya boleh-boleh saja. tidak ada orang atau institusi yang dapat melarang pekerjaan orang sebagai makelar. makelar merupakan profesi yang memerlukan keahlian khusus. seseorang harus memiliki kemampuan VERBAL dan pendekatan persuasif dalam menjalankan profesinya sebagai makelar. namun demikian ketika pekerjaan makelar ini berkaitan dengan proses hukum dan bertujuan mengubah arah hukum maka tentu saja pekerjaan yang demikian patut dipertanyakan keabsahannya.
markus atau mekelar kasus, demikian istilah ini, beberapa minggu ini dikupas habis berbagai media. banyak orang geram campur gemes bagaimana hukum kita dapat dipermainkan oleh segelintir oknum. nggak tanggung-tanggung markus itu gentayangan di lembaga yang semestinya steril dari manusia model seperti ini; kepolisian, jaksa agung, kehakiman. makanya tidak heran bila penegakan hukum kita bukan hanya jalan ditempat tapi sudah keluar dari jalur yang mestinya dilalui. yang lebih heran lagi bahwa markus ini seolah sudah menjadi jaringan mafia lintas departemen. semakin tinggi jabatan seseorang di tiga lembaga ini semakin mudah mereka mempermainkan peran ganda sebagai markus. kabar terakhir di media diduga ada jenderal pangkat tiga lama memainkan peran markus, namun ini masih perlu diselidiki lebih lanjut. berita tadi pagi kita baca bahwa CIRUS SINAGA,jaksa kasus antasari, dibebastugaskan karena diduga "ada main" dalam kasus gayus.
dapat kita bayangkan bila semua lembaga penegak hukum dikuasai oleh "gurita" markus maka tidak pernah terjadi keadilan hukum dinegara ini. selama ini kita selalu menyalahkan orang model anggodo padahal mentalitas pejabat kita sendiri sudah bobrok. pejabat negeri ini sudah mengidap penyakit mental akut yang hanya bisa disembuhkan oleh hukuman mati. selama hanya hukuman kurungan yang cuma beberapa tahun dengan segala kemudahan fasilitas( orang bilang cuma pindah tidur) dan remisi maka tidak akan pernah selesai problema korupsi di negeri ini. ada baiknya sepuluh tahun reformasi ini bukan hanya dibidang politik, melainkan juga reformasi hukum dan personelnya yang jujur. masih kita tunggu indonesia yang lebih baik.