Rabu, 14 Januari 2009

Keseimbangan hidup dalam pandangan islam

Islam diyakini merupakan suatu agama yang memiliki ajaran yang lengkap. Keyakinan ini termasuk prinsip yang sudah taken for granted dalam pandangan umat islam, sehingga umat islam tidal perlu lagi mencari nilai-nilai diluar islam. Salah satu alasan mengapa islam diyakini memiliki kesempurnaan nilai yang mengatur keseluruhan urusan kehidupan umat manusia adalah ayat Al-Qur’an yang turun ketika Nabi menjalankan ibadah haji menjelang berakhirnya risalah beliau.


Š

“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.[1]

Termasuk salah satu hal penting yang menjadi perhatian islam adalah pandangan islam tentang keseimbangan hidup. Islam merasa perlu untuk memberikan petunjuk kepada manusia tentang cara hidup yang seimbang, karena islam merasa bahwa kelangsungan kehidupan manusia sangat tergantung dari kemampuan mereka dalam mengorganisir tuntutan kebutuhan hidup dan hal ini memerlukan keseimbangan sehingga umat manusia tidak kehilangan oreintasi dalam perjalanan kehidupan mereka.

Sebelum kita menjelaskan tentang keseimbangan hidup dalam pandangan Islam terlebih dahulu kita harus memahami arti dasar kata keseimbangan dan kata hidup. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata keseimbangan berasal dari kata imbang yang mendapatkan imbuan ke-dan-an. Imbang dalam kamus tersebut memiliki arti : setimbang, sebanding, sama (berat, derajat, ukuran, dsb),dengan demikian keseimbangan memiliki arti keadaan yang terjadi apabila semua gaya dan kecederungan yang ada tepat diimbangi atau dnetralkan oleh gaya dan kecenderungan yang sama. Adapun arti kata hidup meliputi setidaknya ada tiga arti penting :

1 masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya, seperti contoh: kakeknya masih hidup, tetapi neneknya telah lama meninggal.

2 tetap ada (tidak hilang), seperti contoh: peristiwa itu masih hidup diingatannya.

3 masih tetap dipakai, seperti contoh : adapt itu masih hidup di masyarakat.[2]

Dengan demikian keseimbangan hidup adalah suatu gerak kehidupan yang terus berlangsung yang memiliki kemampuan untuk tetap dalam situasi dan kondisi seimbang diantara berbagai kecendrungan yang mempengaruhi baik dari factor internal maupun eksternal, baik kebutuhan jasmani maupun rohani .

Ada beberapa istilah ataupun terma-terma dalam Al-Qur’an yang memiliki arti sama dengan arti kata keseimbangan. Dan secara tak terduga terma-terma itu berkaitan dengan pikiran, sikap, maupun tindakan yang seharusnya menjadi karakter umat islam. Terma-terma tersebut antara lain : al‘adl, alwasth, alqisth, almizaan. Dalam kamus kontemporer arab Indonesia, karya Atabik Ali dan Zuhdi Muhdlor[3] kata alwasth berarti yang di tengah-tengah, kata ini derivasi dari kata wa-sa-tha yang artinya berada di tengah. Sedangkan kata al’adl memiliki arti keseimbangan (sikap tengah-tengah), adapun kata alqisth dan almizaan memiliki arti berlaku adil (seimbang dalam sikap dan perlakuan) dan keseimbangan( almizanyah). Terma-terma diatas jelas menunjukkan bahwa Al-Qur’an (baca: Islam) sangat konsern terhadap wacana keseimbangan dalam segala hal dalam kehidupan manusia.

Salah satu contoh penting ayat alqur’an yang menyebutkan wacana keseimbangan terdapat dalam ayat:


“Dan Allah Telah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan)”.

. “Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu”.

“Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”.

Prof Dr As-Sayyid Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya Al-Misbah menafsirkan kata Almizaan dalam kaitannya penciptaan alam sebagai berikut;

“Dapat juga kata Al-mizan tersebut dipahami dalam arti keseimbangan yang ditetapkan Allah dalam mengatur sestem alam raya, sehingga masing-masing beredar secara seimbang sesuai kadar yang ditetapkanNya, sehingga langit dan benda-benda angkasa tidak saling bertabrakan. Keseimbangan yang diletakkan Allah itu, antara lain berupa gaya-gaya tiap-tiap benda langit sehingga masing-masing beredar dalam kadar tertentu yang tidak mengganggu peredaran benda langit lainnya”.

Adapun penfsirannya dalam kaitan manusia dengan aktifitasnya :

jika anda memahami mizan dalam arti keseimbangan, itu berarti manusia dituntun oleh Allah agar melakukan keseimbangan dalam aktifitasnya. Pengeluaran anda harus seimbang dengan pemasukan anda, tamu yang anda undang harus seimbang dengan kapasitas ruangan dan jamuan,anak yang direncanakan pun harus seimbang dengan kemampuan dan kondisi anda dan pasangan anda. Demikian seterusnya” [4]

Keseimbangan dalam orientasi hidup

Al-Qur’an menyatakan dalam salah satu ayatnya tentang keseimbangan orientasi kehidupan umat manusia :


Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS.Al-Qoshosh: 77)[5]

Pemahaman ayat diatas adalah bahwa dalam menjalani kehidupan dunia ini Allah memberikan petunjuk pada manusia untuk berusaha sekuat tenaga dan pikiran dalam batas yang dibenarkan Allah untuk memperoleh harta dan hiasan duniawi dengan bersungguh-sungguh untuk kebahagian akhirat, namun dalam saat yang sama manusia tidak boleh melupakan atau mengabaikan bagiannya dari kenikmatan dunia. Al-Qur’an melalui ayat ini berharap ada keseimbangan orientasi hidup manusia dalam megupayakan kebahagian hidup yang bersifat berkelanjutan.

Makanya dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh abdulah al-Qurashi, pernah satu kesempatan Rasul mengkritik salah seorang sahabat yang tenggelam dalam kehidupan akhirat dengan menginggalkan aktifitas dunia, kemudian Rasul memberikan solusi kepada sahabatnya tersebut;

أما لأهلك حقٌّ صُمْ رمضان والذى يليه وكل يوم أربعاء وخميس فإذا أنت قد صمت الدهر (الطبرانى عن مسلم بن عبد الله القرشى عن أبيه)

“ bukankah untuk keluargamu itu memiliki hak, maka puasalah Ramadhan dan enam hari setelahnya dan setiap hari rabu dan kamis.maka kamu telah puasa setahun penuh”.[6]

Keseimbangan dalam sikap beragama

Islam sangat tegas dalam hal sikap yang harus diambil oleh umat islam terutama sikap-sikap itu terkait dengan pandangan sikap keagamaan agama. Sikap yang diambil islam dalam menyikapi kecenderungan spiritualitas manusia adalah posisi seimbang(ditengah-tengah).

Ada beberapa ayat yang menyiratkan ketegasan islam dalam sikap yang harus diambil. Seperti berberapa ayat dibawah ini:


“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.


“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat) Islam umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.[7]

Dari kedua ayat diatas secara tegas islam mengambil jarak antara kecenderungan ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Islam dalam hal ini menyatakan bahwa posisinya berada ditengah-tengah diantara keduanya. Sikap Islam dalam hal ini parameternya bukan pada antara memihak barat ataupun timur, melainkan bahwa ukuran sikap islam tolok ukurnya ketaqwaan.

Keseimbangan rohani, akal, jasmani

Islam tidak menghendaki seluruh potensi manusia terforsir. Islam juga mewujudkan kebahagian manusia dengan memberikan kesempatan istirihat. Hal itu berpengaruh besar dalam hidupnya sehingga seluruh potensi itu bekerja dengan kompak dan seimbang, dimana satu unsur tidak mendominasi unsur lainnya. Unsur jasmani tidak mendominasi unsur rohani juga sealiknya unsur rohani tidak mendominasi unsur jasmani dan akal[8].

Islam menggabungkan antara kerja jasmani dan kerja rohani. Syari’at islam yang bersifat “keduniaan” seperti perkawinan, talak, pewarisan,perekonomian, peperangan, politik, dan sebagainya ditegakkan atas dasar aqidah yang berkaitan dengan rohani.

Sebaliknya, syari’at islam yang bersifat ritual, pelaksanaannya sama sekali tidak dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap syari’at itu sendiri, tetapi dimaksudkan sebagai sara untuk memperbaiki jiwa dan prilaku manusia.

Keseimbangan kerja dan ibadah

Salah satu nilai Islam yang tak kalah penting adalah aplikasi keselarasan antara kebutuhan rohani dan jasmani yaitu dengan kerja dan ibadah . Islam tidak pernah memberikan rekomendasi pada umatnya untuk menempuh hidup dengan mengabaikan salah satu dari dua kebutuhan esensial manusia yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Sebaliknya islam mendorong umatnya untuk hidup selaras antara kebutuhan lahir dan batin antara kerja mencari rezki dengan ibadah dan zikir kepada Allah. Inilah dalam studi islam disebut ummatan wasathon[9].

Dalam etika Islam ditemukan prinsip keseimbangan dan prinsip ini termasuk mewarnai etos kerjanya sehingga kerja ekonomi dan ibadahpun menjadi selaras, masing-masing dikerjakan menurut jadwal waktunya. Dalam Al-Qur’an diperintahkan :


Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.

.

Pada ayat tersebut diatas tercermin wawasan keselarasan dalam pola hidup hidup islami, antara kerja dan ibadah. Dalam salah satu hadis dikemukakan :

إعمل لدنيا ك كأنك تعيش أبدا واعمل لأخرتك كأنك تموت غدا

Kerjakanlah duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya tetapi kerjakanlah kepentingan akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok (ibnu asakir)

Faktor pendukung terciptanya keseimbangan hidup

Faktor penting yang mendukung terciptanya pola hidup yang seimbang secara islami setidaknya ada dua hal:

Faktor pendidikan dan dakwah: pendidikan memegang peranan penting untuk usaha menyebarkan informasi dan pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang pandangan agama tentang hidup yang balance, yang sehat yang bernilai religius Tanpa usaha-usaha pemerataan penyebaran ajaran agama kepada masyarakat dapat dipastiakan bahwa masyarakat tidak memiliki satu perspektif yang dipakai acuan untuk mengembangakan pola hidup yang seimbang.

Faktor lingkungan : yang dimaksud faktor lingkungan adalah adanya kesempatan dalam lingkungan masyrakat untuk mendapatakan informasi pengetahuan agama tentang konsep hidup yang baik sekaligus kemauan mempraktekkan dalam kehidupan nyata. Tujuan yang dihendak dicapai dari kesempatan dan kemauan internal lingkungan masyarakat adalah tercapainya apa yang dimaksud dengan bi’ah islamy.(lingkungan bernuansa nilai-nilai islam)[10].

Penutup

Dari paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa Islam sebagai agama samawi dengan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya menganjurkan untuk memilih pola hidup yang seimbang. Dari mulai landasan filosofi hidup dan kelangsungan kehidupan kedepan, sikap beragama, dan konsep kerja dan ibadah, islam mengatur sedemikian rupa dengan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam setiap ajaran Al-Qur’an. Nabi sendiri dalam satu kesempatan bersabda:

خيرالأموراوسطها

“sebaik-baik urusan adalah yang ditengah-tengah”[11].

Namun demikian seperangkat ajaran yang baguspun belum cukup untuk menciptakan hasil yang baik, bagaimanapun tetap diperlukan kemauan baik ( good will ) dari dalam diri manusianya karena justru manusia itu sendiri subyek dan obyek perubahan sikap, pandangan, maupun perilaku kehidupan. Ajaran agama dan aplikasinya dalam aktifitas nyata merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.



[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya, wakaf dari pelayan Dua Tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz Al-Saud hal 157

[2] Kamus besar bahasa Indonesia edisi ketiga dep. Pendidikan dan Kebudayaan balai pustaka hal 425-426

[3] Lihat Atabik Ali dan zuhdi muhdlor dalam kamus kontemporer arab Indonesia, yogyakarta

[4]Prof Dr As-Sayyid Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya Al-Misbah volume 13 juz hal: 498-499

[5]Al-Qur’an dan Terjemahannya, wakaf dari pelayan Dua Tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz Al-Saud hal 623

[6]Imam As-Suyuthi dalam Jami’ Al-Hadits Juz 6 Hal 348

[7] Al-Qur’an dan Terjemahannya, wakaf dari pelayan Dua Tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz Al-Saud hal 36.

[8] Marwan Al-Qadiry dalam Seimbanglah Dalam Beragama, Gema insany Press Jakarta Hal 25

[9]Lihat Dr.H. Hamzah Ya’qub dalam Etos Kerja Islam, CV. Pedoman Ilmu Jaya Jakarta Hal 62

[10] Marwan Al-Qadiry dalam Seimbanglah Dalam Beragama, Gema insany Press Jakarta Hal 31

[11] Diambil dari kaitah syu’ab al-Iman karya Al-Imam Al-Baihaqy

Minggu, 04 Januari 2009

Kasus Lia Eden dalam Tinjauan Islam

Bagaimana islam mensikapi maraknya ajaran sesat yang berkembang dalam masyarakat pada akhir-akhir ini? Pertanyaan ini penting untuk menentukan sikap apa yang harus diambil oleh umat islam. Bagaimanapun jawaban tuntas dalam hal ini tidak boleh di biarkan berlarut-larut karena khawatir masyarakat akan bertindak tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku di negara kita dan pada akhirnya justru berdampak kurang baik pada citra Islam yang mengedepankan kedamaian dari pada kekerasan fisik.

Beberapa hari lalu kembali aparat harus mengamankan Lia Eden dan pengikutnya karena “fatwa”nya tentang penghapusan semua agama dan keyakinan yang berkembang di negara kita. Fatwa yang tertulis dalam risalahnya ini telah dia sampaikan kepada SBY selaku Presiden. Dia bahkan telah memberikan “perintah” SBY untuk ber”imam” kepadanya sesuai dengan titah Jibril dari langit.

Islam sebagai agama yang termasuk dalam daftar ”hapus” oleh kelompok Lia Eden, merasa perlu meninjau risalah tersebut dari frame keyakinan Islam. Tinjauan ini dari tiga sudut pandang:

1 prinsip berkeyakinan dalam islam,

2 etika berdialog,

3 pembuktian terhadap kebenaran keyakinan agama.

Ketiganya merupakan parameter yang berfungsi menimbang sejauh mana signifikansi umat dalam mensikapi terhadap propaganda kelompok Lia Eden. Islam mengapresiasi provokasi dengan dialog keagamaan macam apapun, termasuk ketika Lia Eden dengan jama’ahnya merasa perlu konfrontasi teologis dengan Islam.

Dalam Islam dikatakan bahwa beragama itu memiliki beberapa prinsip dasar yang harus dihormati oleh umat manusia . Secara tegas ayat Al-Qur’an mengutip demikian :

Laa ikrooha fid diin qod tabayyar rusydu minal ghoyyi.

Lakum diinukum waliya diin.

Walla tasubbulladziina yad’uuna min duunillahi fayasubbu Allaha bighoiri ilm.

Afanta tukrihunnaasa hatta yakuunuu mukminin.

Islam juga memiliki aturan yang menjadi pegangan umatnya ketika berdiskusi tentang prinsip-prinsip agama .

Walla tujaadiluu ahlal kitabi illa billatii hiya ahsan.

Ud’u ilaa sabiili robbika bil hikmati wal mau’idlotil hasanati wa jaadilhum billati hiya ahsan.

Fa quulaa lahuu qoulal layyinaa la’alahu yatadzakkaru au yakhsyaa.

Fabimaa rahmatin min Allah linta lahum.

Bahkan ketika dalam sebuah diskusi yang memerlukan pembuktian empirispun islam menyambut baik ajakan tersebut

Qul fa’tuu bisurotim ….

Qul fa’tu bi’asyri suwarin….

Fa’tuu biqur’anin bighoiri hadza au baddilhu….


Dengan tiga prinsip diatas, maka ketika Lia Eden merasa bahwa agama islam perlu dihapus, ia harus dapat menyebutkan secara benar dan obyektik hal apa dalam ajaran islam yang tidak sesuai dengan zaman. Apakah keharusan membubarkan agama islam itu karena ada kesalahan fundamental dalam teologi Islam ataukan doktrin islam tidak sesuai dengan wahyu yang dia terima. Sekali lagi islam merasa perlu untuk menanyakan hal ini karena kasus lia eden adalah murni masalah keyakinan, dan menurut islam keyakinan tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, melainkan dengan argumentasi logis yang bersumber dari wahyu. Adalah sebuah tindakan kekanak-kanakan apabila sesorang hanya sekedar bisa perintah bubarkan sementara ia tidak mampu membuktikan alasan pembubaran agama tersebut.

Ketika wahyu Al-Qur’an turun kepada Rasulullah yang membeberkan kesalahan teologi masyarakat Quraish, umat nasrani, ataupun umat yahudi maka Al-Qur’an dapat membuktikan bukti-bukti kesalahan mereka sekaligus Al-Qur’an mengajukan premis (dalil) kebenaran islam.

Mungkin perlu bagi pengikut lia eden membaca kembali bagaimana hal-ilhwal perjalanan spiritual Ibrahim dalam mencari Tuhan ataupun argumentasi Ibrahim di hadapan penguasa ketika berdebat masalah ketuhanan atau ketika di tuduh menghancurkan berhala di dalam altar peribadatan mereka

Atau sejarah kenabian Muhammad di mana dalam penggalan perjalanan dakwahnya pernah ditawari kedudukan, wanita, serta harta oleh kaum quraish namun nabi menolak tawaran itu dan beliau justru menyatakan demikian:

,”andaikata matahari ditangan kananku dan rembulan ditangan kiriku sebagai alat tukar risalah yang ditugaskan padaku maka tidak akan aku tinggalkan risalah ini sampai nyawa merenggutku”.

Lia eden juga perlu membaca sejarah kodifikasi Al-Qur’an dari masa Nabi hingga khalifah Usman RA, bagaimana tahapan penulisan Al-Qur’an tersebut hingga sampai pada penetapan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf. Pengetahuan ini penting baginya berikut pengikutnya sehingga tidak sembrono asal perintah bubarkan islam.

Ketika lia eden mengaku bahwa ia telah dibimbing oleh Jibril, maka klaim seperti itu wajar saja. Umat islam tidak perlu risih atau marah, karena Rasulullah bukanlah orang pertama yang mendapat wahyu Allah dengan perantara Jibril para nabi sebelumnya juga mendapatkan perlakuan yang sama .Namun Rasul Adalah orang terakhir yang mendapat bimbingan jibril, demikian karena nabi sendiri yang menginformasikan masalah terebut dan Beliau adalah orang yang terpercaya (al-amin).

Mungkin umat perlu mendudukkan masalah ini lebih jernih sebelum memutuskan satu sikap yang lebih arif. Umat islam tidak perlu terprovokasi ulah Lia eden. Umat islam tidak perlu mengejek Lia eden dengan kata kasar seperti yang pernah dialami oleh Rasulullah, cukup beliau orang terakhir yang mengalaminya. Satu catatan penting yang seyogyanya diketahui oleh lia eden tentang loyalitas keimanan umat islam bahwa kami tidak pernah melihat latar belakang profesi nabi ketika kami menyatakan keimanan pada islam, sebaliknya alas an kami memilih islam sebagai jalan hidup karena pada diri nabi terdapat teladan yang diperlukan oleh seluruh umat manusia.

Bagi umat islam kapatuhan adalah sesuatu yang paling berharga karena menyangkut kesetiaan, tunduk patuh pada kekuasaan seseorang. Adalah naïf, ironis bila kita memberikan sesuatu yang paling berharga dalam hidup kita kepada orang yang tingkat amanahnya, kejujurannya, dedikasinya, empatinya dan semua hal baik yang menjadi syarat orang tersebut pantas untuk kita patuhi itu, belum dapat kita buktikan secara khalayak.

Oleh karena itu saudaraku umat islam mari kita gunakan kasus lia eden ini sebagai pelajaran berharga bagi kehidupan keagamaan kita. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa perjalanan hidup masih panjang, masih sederet masalah yang mesti kita benahi termasuk kehidupan spiritual kita.

Ingat pesan Al-Qur’an :

Yaa ayyuhal lazdiina amanuu quu anusakum wa ahliikum naaro. Wassalam.

Abu ja’far

Santri Al-Munawwir krapyak yogyakarta