Minggu, 04 Januari 2009

Kasus Lia Eden dalam Tinjauan Islam

Bagaimana islam mensikapi maraknya ajaran sesat yang berkembang dalam masyarakat pada akhir-akhir ini? Pertanyaan ini penting untuk menentukan sikap apa yang harus diambil oleh umat islam. Bagaimanapun jawaban tuntas dalam hal ini tidak boleh di biarkan berlarut-larut karena khawatir masyarakat akan bertindak tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku di negara kita dan pada akhirnya justru berdampak kurang baik pada citra Islam yang mengedepankan kedamaian dari pada kekerasan fisik.

Beberapa hari lalu kembali aparat harus mengamankan Lia Eden dan pengikutnya karena “fatwa”nya tentang penghapusan semua agama dan keyakinan yang berkembang di negara kita. Fatwa yang tertulis dalam risalahnya ini telah dia sampaikan kepada SBY selaku Presiden. Dia bahkan telah memberikan “perintah” SBY untuk ber”imam” kepadanya sesuai dengan titah Jibril dari langit.

Islam sebagai agama yang termasuk dalam daftar ”hapus” oleh kelompok Lia Eden, merasa perlu meninjau risalah tersebut dari frame keyakinan Islam. Tinjauan ini dari tiga sudut pandang:

1 prinsip berkeyakinan dalam islam,

2 etika berdialog,

3 pembuktian terhadap kebenaran keyakinan agama.

Ketiganya merupakan parameter yang berfungsi menimbang sejauh mana signifikansi umat dalam mensikapi terhadap propaganda kelompok Lia Eden. Islam mengapresiasi provokasi dengan dialog keagamaan macam apapun, termasuk ketika Lia Eden dengan jama’ahnya merasa perlu konfrontasi teologis dengan Islam.

Dalam Islam dikatakan bahwa beragama itu memiliki beberapa prinsip dasar yang harus dihormati oleh umat manusia . Secara tegas ayat Al-Qur’an mengutip demikian :

Laa ikrooha fid diin qod tabayyar rusydu minal ghoyyi.

Lakum diinukum waliya diin.

Walla tasubbulladziina yad’uuna min duunillahi fayasubbu Allaha bighoiri ilm.

Afanta tukrihunnaasa hatta yakuunuu mukminin.

Islam juga memiliki aturan yang menjadi pegangan umatnya ketika berdiskusi tentang prinsip-prinsip agama .

Walla tujaadiluu ahlal kitabi illa billatii hiya ahsan.

Ud’u ilaa sabiili robbika bil hikmati wal mau’idlotil hasanati wa jaadilhum billati hiya ahsan.

Fa quulaa lahuu qoulal layyinaa la’alahu yatadzakkaru au yakhsyaa.

Fabimaa rahmatin min Allah linta lahum.

Bahkan ketika dalam sebuah diskusi yang memerlukan pembuktian empirispun islam menyambut baik ajakan tersebut

Qul fa’tuu bisurotim ….

Qul fa’tu bi’asyri suwarin….

Fa’tuu biqur’anin bighoiri hadza au baddilhu….


Dengan tiga prinsip diatas, maka ketika Lia Eden merasa bahwa agama islam perlu dihapus, ia harus dapat menyebutkan secara benar dan obyektik hal apa dalam ajaran islam yang tidak sesuai dengan zaman. Apakah keharusan membubarkan agama islam itu karena ada kesalahan fundamental dalam teologi Islam ataukan doktrin islam tidak sesuai dengan wahyu yang dia terima. Sekali lagi islam merasa perlu untuk menanyakan hal ini karena kasus lia eden adalah murni masalah keyakinan, dan menurut islam keyakinan tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, melainkan dengan argumentasi logis yang bersumber dari wahyu. Adalah sebuah tindakan kekanak-kanakan apabila sesorang hanya sekedar bisa perintah bubarkan sementara ia tidak mampu membuktikan alasan pembubaran agama tersebut.

Ketika wahyu Al-Qur’an turun kepada Rasulullah yang membeberkan kesalahan teologi masyarakat Quraish, umat nasrani, ataupun umat yahudi maka Al-Qur’an dapat membuktikan bukti-bukti kesalahan mereka sekaligus Al-Qur’an mengajukan premis (dalil) kebenaran islam.

Mungkin perlu bagi pengikut lia eden membaca kembali bagaimana hal-ilhwal perjalanan spiritual Ibrahim dalam mencari Tuhan ataupun argumentasi Ibrahim di hadapan penguasa ketika berdebat masalah ketuhanan atau ketika di tuduh menghancurkan berhala di dalam altar peribadatan mereka

Atau sejarah kenabian Muhammad di mana dalam penggalan perjalanan dakwahnya pernah ditawari kedudukan, wanita, serta harta oleh kaum quraish namun nabi menolak tawaran itu dan beliau justru menyatakan demikian:

,”andaikata matahari ditangan kananku dan rembulan ditangan kiriku sebagai alat tukar risalah yang ditugaskan padaku maka tidak akan aku tinggalkan risalah ini sampai nyawa merenggutku”.

Lia eden juga perlu membaca sejarah kodifikasi Al-Qur’an dari masa Nabi hingga khalifah Usman RA, bagaimana tahapan penulisan Al-Qur’an tersebut hingga sampai pada penetapan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf. Pengetahuan ini penting baginya berikut pengikutnya sehingga tidak sembrono asal perintah bubarkan islam.

Ketika lia eden mengaku bahwa ia telah dibimbing oleh Jibril, maka klaim seperti itu wajar saja. Umat islam tidak perlu risih atau marah, karena Rasulullah bukanlah orang pertama yang mendapat wahyu Allah dengan perantara Jibril para nabi sebelumnya juga mendapatkan perlakuan yang sama .Namun Rasul Adalah orang terakhir yang mendapat bimbingan jibril, demikian karena nabi sendiri yang menginformasikan masalah terebut dan Beliau adalah orang yang terpercaya (al-amin).

Mungkin umat perlu mendudukkan masalah ini lebih jernih sebelum memutuskan satu sikap yang lebih arif. Umat islam tidak perlu terprovokasi ulah Lia eden. Umat islam tidak perlu mengejek Lia eden dengan kata kasar seperti yang pernah dialami oleh Rasulullah, cukup beliau orang terakhir yang mengalaminya. Satu catatan penting yang seyogyanya diketahui oleh lia eden tentang loyalitas keimanan umat islam bahwa kami tidak pernah melihat latar belakang profesi nabi ketika kami menyatakan keimanan pada islam, sebaliknya alas an kami memilih islam sebagai jalan hidup karena pada diri nabi terdapat teladan yang diperlukan oleh seluruh umat manusia.

Bagi umat islam kapatuhan adalah sesuatu yang paling berharga karena menyangkut kesetiaan, tunduk patuh pada kekuasaan seseorang. Adalah naïf, ironis bila kita memberikan sesuatu yang paling berharga dalam hidup kita kepada orang yang tingkat amanahnya, kejujurannya, dedikasinya, empatinya dan semua hal baik yang menjadi syarat orang tersebut pantas untuk kita patuhi itu, belum dapat kita buktikan secara khalayak.

Oleh karena itu saudaraku umat islam mari kita gunakan kasus lia eden ini sebagai pelajaran berharga bagi kehidupan keagamaan kita. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa perjalanan hidup masih panjang, masih sederet masalah yang mesti kita benahi termasuk kehidupan spiritual kita.

Ingat pesan Al-Qur’an :

Yaa ayyuhal lazdiina amanuu quu anusakum wa ahliikum naaro. Wassalam.

Abu ja’far

Santri Al-Munawwir krapyak yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar