Selasa, 16 Desember 2008

Hidup Damai

Hidup Damai*

Hidup damai merupakan idaman setiap orang. Kedamaian itu tolok ukurnyaadalah suasana batin yang tenang tanpa ada suatu problem atau masalah yang mengganjal dalam benak setiap orang. Secara umum orang memandang bahwa berlimpahnya materi merupakan factor utama capaian hidup damai. Dimana-mana setiap orang memperdebatkan esensi hidup damai yang ujung-ujungnya sepakat untuk menempatkan kemapanan ekonomi sebagai pilar utamanya

Setiap hari kita baca di media cetak ataupun kita lihat di media elektronik berita tentang tuntutan perbaikan nasib orang. Tentu saja maksud dari tuntutan itu adalah perbaikan ekonomi, kesempatan kerja, dan kelayakan hidup. Juga berita konflik fisik antar etnis, agama, aparat keamanan dengan kaum buruh, penegak hukum dengan tersangka korupsi maupun sesama politisi anggota DPR, dan yang tak kalah penting adalah kelaparan akibat dari musibah alam yang berkepanjangan. Semua itu menunjukkan bahwa hidup damai masih ibarat bara jauh dari panggang.

Apakah hidup damai itu suatu yang absurd dan utopis ? kita boleh saja berpendapat bahwa selama hidup berlangsung sesungguhnya kedamaian hakiki itu adalah suatu yang nonsent karena ukuran kenyamanan hidup itu tidak jelas parameternya. Alasannya sederhana saja bahwa dalam mempertahankan hidup setiap orang tergerak untuk meningkatkan taraf ekonominya, akibatnya secara tidak langsung timbul persaingan atau kompetisi peningkatan kualitas dalam produksi, pelayanan, managemen, publikasi, maupun pasar.

Lantas apakah sedemikian erat korelasi antara hidup damai dengan kemapanan ekonomi yang kita bangun ? apakah dengan hidup mapan secara ekonomis berefek pada kedamaian hidup ? dua pertanyaan ini mengingatkan kita pada ungkapan yang pernah kita dengar dari guru kita sewaktu belajar di sekolah dasar, yaitu min sana in korpori sano yang artinya dalam jiwa yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat, analoginya hidup yang damai terdapat pada ekonomi yang mapan

Dalam hal ini tentu saja tidak akan rampung perdebatan hakikat hidup damai itu dimulai dari mana, karena paradigma yang dipakai berbeda. Satu pihak berprinsip pada mendahulukan kebutuhan perut untuk menata kebutuhan batin, pihak lain sebaliknya berpijak dari konsep kedamaian dan ketenangan batin untuk menata hidup secara kreatif.

Tidak sedikit hidup berlebihan justru menimbulkan stress, was-was, prasangka berlebihan terhadap semua orang. Kita lihat saja tingkah pola orang yang the have mengatur orang-orang sekitarnya( baca: keluarganya ) bahkan untuk hal-hal yang paling pribadi seperti mengatur selera anaknya dalam memilih jodoh, kalau perlu pilih orang yang kaya biar hartanya tidak lari keorang miskin. Padahal selera adalah soal hati. Ujung-ujungnya akibat dari pola hidup yang sedemikian itu adalah timbulnya sakit liver karena terlalu banyak mikir soal harta, dan bukannya hidup damai yang di idamkan.

Terlebih lagi hidup kekurangan adalah biang dari segala masalah. Kata-kata bijak menyatakan bahwa hampir saja kemiskinan itu menjerumuskan pada jurang kekafiran dimana-mana kita lihat fenomena orang-orang miskin terutama dikota -kota besar hingga kita kenal istilah kaum miskin kota, konsorsium rakyat miskin kota. Mereka itu ada yang bekerja sabagai tukang minta-minta, pengamen jalanan. Setiap hari mereka melihat- tanpa bisa meraih kecuali berharap uang receh dari sakunya – orang-orang kaya lalu lalang dengan mobil mewahnya.

Boleh jadi jurang kekafiran itu tidak sebatas konversi keyakinan dari satu agama ke agama lain yang bersifat teologis, lebih dari itu bisa bersifat sosiologis, artinya bahwa kemiskinan menyulut pengingkaran sebagian pihak untuk mengakui eksistensi pihak lain yang mapan dan mendorong mereka untuk melakukan tindak kriminalitas seperti penjarahan, pencurian, pembunuhan, seperti yang pernah terjadi dalam kasus tasikmalaya di penghujung tahun 90 an.

Demikianlah hidup damai itu parameternya tidak selalu ketercukupan materi, meskipun tidak dipungkiri bahwa materi itu mendukung terciptanya ketenangan hidup. Barangkali penting untuk menengok pesan Nabi yang mengatakan ,“sebaik-baik perkara adalah yang ditengah-tengah”. Pesan ini mengajarkan kita untuk hidup seimbang antara kebutuhan spiritualitas dan material. Wa Allahu A’lam. Abu Dja’far*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar