Senin, 15 Desember 2008

Hidup Dengan Nilai Kesantrian

Hidup Dengan Nilai Kesantrian

Termasuk hal yang dikaji dalam filsafat adalah nilai atau value. nilai secara sederhana berarti sesuatu yang memiliki harga, sedangkan salah satu indikator bahwa sesuatu itu memiliki harga adalah apabila ia memiliki nilai tukar. sebuah contoh sederhana, bahwa jual-beli itu didorong oleh kebutuhan untuk mendapatkan sesuatu yang berharga ditukar dengan melepaskan miliknya yang berharga pula.
Begitu pula tentang nilai hidup kesantrian merupakan satu tata nilai yang berharga, tata nilai yang memiliki nilai filosofinya tersendiri dalam globalitas tata nilai mondial yang di ikuti oleh manusia dalam peradabannya. nilai kesantrian ini bersumber dari sebuah tradisi lama yang memiliki sejarahnya tersendiri. sejarah itu merupakan akulturasi dari dua tradisi yang berbeda, namun memiliki nilai esensial yang sama. tradisi itu adalah tradisi keagamaan islam sufi yang asketis, fiqh minded, dengan tradisi jawa lama. mengapa demikian karena istilah santri sendiri tidak berasal dari istilah arab melainkan ia merupakan bahasa sangsekerta. Dengan demikian nilai-nilai kesantrian memiliki perwatakan yang khas dan akulturatif, serta fleksible.
lantas dari manakah seseorang dapat memiliki nilai-nilai kesantrian tersebut? tentu saja nilai-nilai itu didapat dalam kehidupan pesantren. pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan islam yang dikembangkan dengan pola kepemimpinan ulama' ( baca: kiyai ) . institusi pendidikan ini memiliki setidaknya tiga unsur utama yang mendukung terciptanya kelangsungan tata nilai kesantrian yang berkembang di dalamnya. tiga unsur tersebut adalah pertama adanya figur kepemimpinan yang sentral dalam mengendalikan roda kehidupan pesantren. figur ini adalah seorang kiyai (ulama') yang diakui kedalaman ilmu agama dan kharismatikanya dimata masyarakat. kiyai, disamping memegang peran sentral kegiatan pesantren, merupakan sumber referensi bagi para santri dalam setiap pemecahan problem karena kiyai dianggap profil yang sempurna, bahkan ada semacam dorongan psikologis dikalangan santri untuk dapat mengcopy secara detail pola kehidupan kiyainya. dorongan ini logis karena kiyai (ulama') dianggap sebagai kelanjutan representasi visi dan misi kenabian, Al-Ulama' waratsah Al-Anbiya'. semakin kuat dorongan untuk mengadopt pola hidup kiyai semakin kuat orientasi kesantrian yang dimiliki oleh santri.
unsur kedua adalah masjid dan gubuk santri. keduanya merupakan variable penting pembentukan pola hidup kesantrian. dikatakan dalam salah satu tulisan Gus Dur yang berjudul "pesantren sabagai sub kultur" bahwa pola kehidupan santri mengikuti pola ibadah lima waktu yang berpusat di masjid. masjid merupakan sentra segala aktifitas pesantren dimana segala macam agenda kegiatan berdasarkan ibadah sholat di masjid, tidak boleh ada kegiatan yang menyimpang darinya. makanya tidak mengherankan bila ada aktifitas yang tak lazim bila dikerjakan oleh masyarakat non pesantren sementara oleh kalangan santri hal itu merupakan hal yang wajar, seperti mencuci pakaian pada malam hari diatas jam 10 malam, karena waktu tersebut bukan waktu produktif untuk belajar sedangkan waktu pagi hari hingga menjelang siang merupakan waktu produktif untuk belajar ilmu-ilmu agama. Sementara gubuk santri berfungsi memudahkan proses interaksi santri-kiyai. gubuk santri biasanya dibangun secara sederhana dengan mengabaikan nilai estetika kontruksi. Bahkan ada beberapa pesantren yang hanya menyediakan tanahnya saja sementara santrilah yang membangun gubuk-gubuk tersebut. hal ini dimaksudkan bahwa selama proses ngelmu kesederhanaan merupakan syarat untuk mencapai sukses. kesederhanaan ini juga terlihat dalam pola makan santri, biasanya santri menyusun jadwal kerja kelompok yang bertugas memasak nasi.
unsur ketiga adalah literatur. pesantren memiliki literatur yang menjadi panduan kiyai dalam proses transfer ilmu kepada santri. literatur pesantren berbasis pada khasanah pemikiran ulama' salaf yang terhimpun dalam empat mazhab pada bidang fiqh, mengikuti imam hasan al-as'ary dan imam almaturidy pada bidang aqidah, serta imam al-junaidy dan al-ghozaly pada bidang tasauf, serta pengajaran Al-Qur'an dan Al-Hadits. pengajaran literatur pesantren tersebut diajarkan secara bertahap bersifat aplikatif. maksud dari pengajaran secara bertahap adalah bahwa pengetahuan agama yang diserap santri dari gurunya itu dimulai dari hal-hal basic hingga tingkat mahir (alim), sementara itu akuran kesalehan seorang santri sangat diukur oleh sejauh mana ia dapat mengamalkan (aplicated) pengetahuan agamanya dalam kehidupan sehari-hari.
dari deskripsi singkat diatas dapat kita tarik satu pemahaman bahwa nilai-nilai moralitas kehidupan santri berpijak pada kepemimpinan dan kepatuhan, kesederhanaan, dan pengamalan terhadap seluruh hasil dari proses ngelmu di pesantren. kepemimpinan sesungguhnya adalah tradisi lama yang telah tumbuh dalam pesantren, bahkan pengalaman pertama yang kita rasakan dan menjadi pelajaran awal hidup di pesantren adalah tentang kepemimpinan,yhnyaa saja edukasi kepemimpinan kepatuhan atau loyalitas terhadap gurunya sangat diperlukan santri selama belajar dalam bimbingan kiyai, karena disamping mengharapkan ilmunya, seorang santri sangat berharap kerelaan (ridho) gurunya. kerelaan kiyai terhadap santri mendorong terwujudnya kedekatan emosional hubungan guru-murid. kesederhanaan merupakan modal dasar bagi santri selama menjalani pendidikan pesantren. dengan kesederhanaan santri dapat memfokuskan diri dalam kesibukan(istighol) belajar ilmu agama. kesederhanaan merupakan cara efektif membendung nafsu sahwat konsumerisme. termasuk diantara pengendalian diri dari pola hidup foya-foya selama di pesantren itu dengan menjalankan puasa sunnah.



1 komentar: