Senin, 15 Desember 2008

Ibu ( Aisha ) In Memorian


Ibuku ( Aisha ) in memorian*

,” berdo’alah dan jangan pernah bosan minta pada Allah karena sesungguhnya satu saja do’amu diterimaNya maka hidupmu akan bahagia. Hari ini ibu bahagia karena do’a ibu diterima oleh Allah”. ( My Mother )

Demikianlah bunyi pesan ibuku (alm) padaku dulu saat beliau masih bersama kami sekeluarga. Aku masih teringat betul pesan itu disampaikan saat ibu menguliti bawang dekat pintu belakang rumah, beberapa hari setelah aku pulang dari pesantren, liburan sekolah. Sampai hari ini pesan itu selalu aku ingat dan aku tak pernah bosan berdo’a pada Allah minta petunjuk, rizki, diampuni dosaku, dan seterusnya.

Ibuku dekat dengan aku sebagaimana beliau dekat dengan anak-anaknya yang lain. Beliau punya cara-cara tersendiri dalam memperlakukan masing-masing anaknya, meskipun juga ada cara umum yang beliau gunakan untuk menyikapi beragam sifat dan watak anak-anaknya. Saya tidak tahu persis berapa banyak pesan yang beliau sampaikan kepada saudara-saudaraku tapi nasihatnya padaku teramat banyak.

Pesan ibu intinya bernilai semangat hidup terutama semangat belajar. Dulu ketika masih di bangku sekolah dasar pernah aku ditanya tentang fungsi sekolah SD dan Madrasah. Beliau Tanya ,” sekolah SD untuk siapa dan Madrasah untuk siapa? Aku jawab ,”SD untuk aku sendiri dan Madrasah untuk ibu”. Sesungguhnya jawaban itu bukan murni dariku tapi terlebih dahulu diajari oleh ibuku, aku tinggal menirukan saja apa katanya. Lucunya pertanyaan itu selalu diulang-ulang setiap saat dan aku tak pernah bosan menjawabnya. Seakan ibuku ingin menguji sejauh mana tingkat memori yang aku miliki. Semakin cepat aku menjawabnya aku semakin bangga karena aku ingat.

Aku baru tahu apa nilai yang ingin ditanamkan ibuku kelak bila aku dewasa yaitu bahwa pendidikan umum dan agama sama-sama punya arti penting dalam kehidupan dunia. Menjalani kehidupan dunia tidak cukup hanya menguasai salah satu dari dunia dan akherat. Dan yang paling penting secara tidak sadar aku dididik untuk memahami arti dedikasi, pengorbanan. Mungkin kurang lebih begini artinya,” bila yahya pinter ilmu agama, yahya ingat ibu nggak? Bila ibu besok sudah tidak lagi mendampingimu karena Allah telah memanggil ibu apakah yahya masih ingat ibu? mau nggak yahya berkorban untuk orang-orang yang ibu cintai ?”.

Ya.. itulah kata kunci yang telah ditanamkan ibuku dulu. Hidup.. seberapapun tingkat keberhasilan yang aku raih di mata ibuku tiada memiliki arti bila tiada punya semangat untuk dedikasi karena yang muncul hanyalah watak egois, nggak mau tahu orang lain, mengisolasi diri dari lingkungan.

Dedikasi itu tak terbatas pada siapa saja, apa saja, agama, Negara, masyarakat, keluarga, ataupun orang lain. Bila aku dapat mengimplementsikan pesan itu maka harapan ibu adalah dapat ganjaran diakherat kelak. Ibuku memang pintar dalam hal ini.

Pernah suatu ketika aku ditanya tentang bioskop, apakah aku selama mondok di pesantren pernah nonton film bioskop? Aku jawab belum pernah. kemudian ibuku bilang begini ,” uangmu boleh kamu habiskan untuk makan apa saja tapi jangan pernah melihat bioskop”. Seperti dulu ketika aku masih kecil, aku hanya jawab iya bu.. padahal saat itu aku sudah SMA ( Aliyah ). Aku tidak punya kekuatan untuk balik bertanya mengapa aku tidak boleh nonton bioskop? Sampai hari ini manakala aku sudah berumah tangga aku tidak pernah nonton bioskop.

Aku meyakini arti larangan itu untuk selamanya sepanjang hidupku. Prinsip fiqh yang menyatakan bahwa an-nahyu yadullu alal faur wal istimrar wa dawaamul waqti aku pegang terus selama hidupku dan aku tak mau menciderai larangan ibuku meski beliau tidak lagi mendampingi hidupku.

Mungkin saja ibuku ingin mengajarkan arti tasharruf rizki yang benar menurut islam yang jauh dari mubazir, karena mubazir itu menurut islam adalah teman syetan. Dan boleh jadi ibuku tahu bahwa bila aku tidak dilarang nonton bioskop maka kelak aku termasuk orang yang keranjingan nonton bioskop.

Pesan dan nasehat beliau terus aku nikmati ketika aku pulang liburan pesantren. Pesan-pesan ini biasanya diselipkan diantara tawaran-tawaran beliau padaku tentang menu makan dan minuman kesukaanku. Pulang kerumah adalah saat-saat untuk balas “dendam” karena menu pesantren yang itu-itu melulu berkisar tempe tahu. Telor, ayam, hanya menu weekend makanya aku hingga hari ini akrab banget sama terong, kangkung, karena tiap hari ketemu.

Ketika dalam perjalanan hidupku aku ingin menghafal Al-Qur’an yang membutuhkan kesabaran untuk menyelesaikannya, aku teringat satu nasihat penting ibuku. Aku katakan nasihat meskipun saat itu beliau sampaikan dalam bentuk cerita saat beliau sekolah dulu. Katanya ,” dulu ketika ibu sekolah, dalam perjalanan pulang maupun pergi ke sekolah senantiasa ibu gunakan untuk membaca surat Al-Ikhlash”. Aku percaya apa yang beliau ceritakan karena aku sendiri menyaksikan kebiasaan beliau setelah sholat maghrib yaitu membaca Al-Qur’an.

Aku menyadari dari cerita beliau ini bahwa diperlukan kesabaran ekstra untuk meraih satu cita-cita luhur dan istiqomah dalam menekuninya, Jangan sampai mudah menyerah sebelum tuntas hafalan Al-Qur’anku. Makanya ketika aku selesai menghapal surat terakhir dalam juz 30, aku ingat betul bahwa malam harinya kau mimpi ketemu ibuku dan apa katanya,” kamu memang anak ibu, kamu memang anak ibu”.

Kini kami tidak lagi didampingi sang ibu yang baik, jujur, ibu yang membangun semangat anak-anaknya untuk terus belajar mengasah pikirannya, akhlaknya dan ibadahnya. Ibuku telah tiada. Ibuku sementara berpisah dengan kami semua. Namun kami yakin ibuku senantiasa melihat aku, saudara-saudaraku, ayahku, anakku yang lucu, keponakanku yang juga lucu-lucu itu.

Ibu.. saat aku tulis ini aku menangis ingat ibu. Ibu.. tak ada seorangpun yang sanggup menggantikan posisimu. Cukup nasihat ibu dan ayah yang aku miliki sebagai bekal meneruskan perjalanan hidup yang tersisa. Aku tak tahu di depanku itu jalan yang mulus ataukah terjal. Ibu.. hanya dengan tulisan ini caraku untuk melampiaskan kerinduanku padamu, rindu nasihat, pesan, contoh baik yang pernah kau berikan padaku. Bacalah tulisanku ini walau aku tak mendengar tapi aku berusaha merasakannya. Ibu.. kini ibu tidak lagi bertanya padaku untuk siapa yahya sekolah SD dan Madrasah.

Ibu…. Doakan aku, ayah, saudara-saudaraku yang juga anak-anakmu, cucu-cucumu. Doakan mereka semua jangan pernah bosan. Sungguh ibu sekarang disisi Allah lebih dekat dan lebih didengar dari pada kami semua. Terima kasih ibu.

Anakmu Yahya Aba Dja’far*

Naskah ini ku tulis untuk mengingat jasa-jasa beliau padaku khususnya dan saudara-saudaraku umumnya, saat aku sendiri di Djakarta tanpa anak istri mendampingiku. Saat aku ingat ibu dalam kesendirianku, saat aku sedih karena jauh dari orang-orang yang aku cintai. Djakarta 06-12-08.

1 komentar:

  1. memang jasa seorang ibu tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. begitu terpatri nasehat sang ibu pada diri anak, walaupun mungkin yang teringat hanya satu dua nasehat (dan mungkin 1000 nasehat lainnya yang pernah disampaikan tapi terlupakan), nasehat itulah yang mengiringi perjalanan anaknya. ibumu bukan ibuku dan ibuku bukan ibumu tapi pepatah mengatakan, rubba akhin lam talidhu walidah. (bisa jadi menjadi saudara (orang lain) yang tidak dilahirkan dari satu ibu).
    sejatinya kehidupan ini berputar; memberi nasehat dan menerima nasehat. dan yang terakhir adalah menjalankan nasehat...
    mungkin intisari kehidupan itu adalah di nasehat. maka berikanlah intisari itu kepada siapa saja, supaya semua orang merasakan menjadi failusuf.... failusuf kehidupan seperti ibunda ustadz Yahya...


    Abu Ayeesha

    BalasHapus