Minggu, 08 Agustus 2010

Ramadhan, Momentum Tobat Sesaat?

Ramadhan sebentar lagi tiba. Kaum muslimin akan menunaikan salah satu dari lima rukun islam yaitu puasa yang menurut makna syariat berarti menahan segala sesuatu yang dapat membatalkan ibadah puasa hingga waktu maghrib tiba selama satu bulan penuh. Sementara untuk menghidupkan suasana ramadhan, pada malam harinya sholat Tarawih, qiyamul lail, tadarus al-Qur’an selama satu bulan penuh akan menghiasi hari-hari selama bulan suci itu. Itu semua dalam al-Qur’an dimaksudkan agar orang menjalankan ibadah puasa itu dapat meraih derajat taqwa,…. la’allakum tattaqun: agar kalian semua menjadi bertaqwa(QS:2:183)
Sebagai ibadah yang aktifitas utamanya adalah menahan diri dari hal-hal yang dapat merusak nilai puasa seperti makan-minum, berhubungan suami-istri di siang hari, mengumpat, ghibah, berpuasa merupakan benteng diri(junnah).
Rasul bersabda : Puasa itu merupakan benteng(junnah). Jika salah seorang diantara kamu berpuasa janganlah ia berkata keji dan mencaci maki…,Al-Hadits
Namun demikian apa yang sering kita saksikan justru menunjukkan sebaliknya. Puasa sering kali dimaknai sebatas ibadah pen-“suci”-an dari dalam tanda kutip. Momentum ramadhan dijadikan ajang pertobatan semu atas dosa-dosa yang telah lalu. Sebagai contoh pekerja seni, yang biasa tidak mengindahkan kaidah-kaidah agama dalam karya seni mereka(iklan,filmsinetron)dan lebih banyak unsur eksploitasi aurat dan kekerasan rumahtangga, seperti tahu diri saatnya jeda sejenak selama bulan ramadhan. Tiba-tiba wajah-wajah selebritis tampak shaleh,religious dengan dandanan serba islami.
Stasiun televisi dimana-mana berlomba-lomba memproduksi sinetron bertemakan ramadhan yang ditayangkan pada waktu menjelang buka puasa, dimana jam-jam tersebut merupakan prime time stasiun televise. Perlu diingat bahwa selama ini -diluar bulan ramadhan- justru waktu prime time merupakan saat yang tepat untuk menayangkan film sinetron, film kartun, yang banyak menyita waktu bukan saja para orang dewasa melainkan juga anak-anak dibawah umur, yang pada akhirnya membiasakan mereka dari abai menjalankan ibadah sholat maghrib. Pada saat itu bukan saja orang tua abai terhadap kewajiban ibadah lebih parah lagi mereka justru menemani anak-anak mereka menonton televise sementara masjid kosong dari jama’ah sholat.
Seolah-olah dengan menampilkan senetron ramadhan stasiun televise telah ikut menyemarakkan dakwah dan syiar ramadhan kepada masyarakat sekaligus ajang “tobat” karena selama sebelas bulan sebelumnya hampir seluruh menu acara televise berisi hiburan.
Begitu pula wajah-wajah public figur (baca: pejabat) rakyat kita yang terhormat baik di lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif setali tiga uang selama bulan ramadhan. mereka “khusuk" menjalani ibadah puasa ramadhan. Kalau sebelumnya berita yang sering kita dengar tentang mereka dimedia massa tidak pernah jauh dari KKN, mengabaikan aspirasi rakyat, tiba-tiba saja mereka lengket dengan rakyat kecil. Kegiatan-kegiatan keagamaan mereka ikuti, santunan orang-orang miskin anak yatim, padahal selama ini banyak kebijakan-kebijakan mereka yang menyengsarakan rakyat dan hanya demi kepentingan kelompok elit tertentu.
Inikah yang dinamakan tobat sesaat dibulan ramadhan? Setelah ramadhan selesai berarti selesai juga “kekhusukan” ritual ramadahan. Semua kembali seperti sedia kala. Berlalunya ramadhan lewat pula kedekatan pejabat dengan rakyat, artis tampil seronok, berciuman dengan dengan pria bukan suaminya didepan kamera, iklan mengeksploitasi tubuh dan seorang ibu menemani anaknya nonton TV saat sholat maghrib tiba.
Hal demikian disebabkan cara kita memahami hakikat puasa bulan ramadhan yang masih parsial. Masyarakat pada umumnya memahami puasa sebatas menahan diri dari makan-minum dan ritualitas ramadhan sebagai syiar simbolis pengisi kegiatan ramadhan. Ramadhan seolah nilai-niainya tidak terkait dengan bulan-bulan diluar ramadhan.
Mereka umumnya tidak memahami bahwa makna menahan makan-minum bukan saja menahan memakan makanan dan minuman yang dihasilkan dari kerja halal kita, lebih penting lagi menahan diri memakan harta yang bukan milik sah kita. Al-Qur’an tegas menyatakan :
“Walaa ta’kuluu amwalakum bainakum bil bathil….”(QS:2:188)
“Dan janganlah kalian semua memperoleh (untuk digunakan mencari makanan-dan minuman) harta diantara kalian dengan cara bathil…”
Dari ayat diatas logika sederhana menyatakan haramnya makan-minum dari hasil usaha halal kita di saat buka dan sahur, tentu asaddu haraman apabila kita memakan hasil usaha yang bathil untuk buka dan sahur kita. Begitu pula seperti sabda nabi bahwa puasa sebagai benteng diri (junnah) bagi orang islam, mestinya juga sebagai benteng diri -diluar ramadhan- dari dorongan untuk mengambil harta secara bathil seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Inilah mengapa ketika ramadhan selesai sedikit sekali kita menangisi kepergiannya. Diam-diam dalam diri kita menghendaki ramadhan segera berakhir. Bahkan sebaliknya ramadhan sedemikian menjadi beban selama menjalaninya sebulan penuh.
Dan akhirnya harapan untuk mencapai derajat muttaqin seperti yang harapkan Al-Qur’an tinggal harapan yang akan terulang kembali di tahun depan. Demikian seterusnya kita tidak akan sampai pada makna sesungguhnya bulan ramadhan. oleh karena itu mari kita sambut ramadhan kali ini benar-benar dalam rangka memperbaiki diri hari ini dan seterusnya, amiin.

1 komentar:

  1. isi artikel yang sampeyan torehkan sungguh mengena terhadap info kekinian, karena memang hampir setiap jam bakhan detik tayangan infotainment media televisi menyuguhkan semua hiburannya dengan frame islami, mungkin ini tidak menjadi masalah, berarti media kita masih ada sedikit nilai moralitas yang masih bisa ditampilkan tidak melulu tayangan yang berbau dunia dan mistik tapi selama satu bulan dibulan ramadhan memberikan arti yang berbeda, ini cukup baik daripada tidak ada sama sekali. sangat disayangkan apabila selepas dari kepompong ramadhan kita tidak mau meneruskan amal baik selama menjalankan ibadah di bulan ramadhan. bukan hanya sebagai tobat sambal belaka. Semoga, Bung!

    BalasHapus