Rabu, 18 Agustus 2010

Membuka cakrawala dengan membaca

Satu saat kepada istriku kuberikan pertanyaan,” apakah setiap orang yang hafal Al-Qur’an itu otomatis memahami seluruh makna Al-Qur’an?” istriku menjawab,” tidak secara otomatis hafidz Al-Qur’an memahami seluruh makna yang terkandung didalamnya. Dia tetap harus belajar lagi tafsir Al-Qur’an kalau ingin menggali maknanya. Dia juga masih perlu belajar ilmu-ilmu yang mendukung ilmu tafsir: ilmu nahwu, shorof, balaghoh, mantiq, juga ilmu-ilmu lainnya yang menambah wawasan qur’an.
Kemudian pertanyaan lanjutan kulontarkan padanya,” apakah orang yang berbahasa Indonesia lancar lagi fasih secara gramatikal juga otomatis mengetahui banyak pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu yang ditulis berbahasa Indonesia seperti: sejarah Indonesia, filsafat pancasila, geografi, sosiologi-antropologi, ideologi, bahkan sejarah dunia dan orang-orang terkenal?
Dia menjawab,” tidak cuma orang yang fasih berbahasa Indonesia tapi juga fasih dalam bahasa apapun;inggriskah, arabkah, jermankah, cina, perancis, semua belum menjadi jaminan bahwa yang bersangkutan berwawasan luas. Sama seperti para hafizh Al-Qur’an, para ahli bahasa tetap membutuhkan pengetahuan dan informasi diluar kebahasaan. Bahasa dalam hal ini hanya satu langkah dari sekian ribu tahapan meraih pengetahuan. Bahasa hanya semacam kunci pembuka jendela pengetahuan.
Membaca merupakan aktifitas wajib. Ibarat kebutuhan ia pada level primer,apalagi dijaman modern seperti ini. Didalam membaca seseorang melakukan safari intelektual mengarungi luasnya samudera ilmu dan pengetahuan. Dengan membaca seseorang telah membuka jendela pikiran memperkaya wawasan dan informasi.
Kadang kala sebagian dari kita berasumsi salah terhadap proses mencari ilmu hanya sebatas dibangku sekolah ataupun pesantren. Sebagian dari kita lupa bahwa sebegitu pentingnya sekolah tetap memiliki keterbatasan ruang dan waktu. Seorang guru meskipun sebagai sumber ilmu dan pengetahuan dan memegang peran penting dalam proses pembelajaran tetap geraknya terbatasi. Kesalahan asumsi inilah yang mendorong kita untuk enggan memperkaya pengetahuan dengan membaca. Seluruh pengetahuan, kita sandarkan dari guru sebagai sumbernya.
Sebagai contoh sederhana, penulis yang kebetulan adalah seorang santri sempat berfikir ketika melihat seseorang selesai belajar Al-Qur’an secara memorizing(hafalan) bahwa dengan menghapal seseorang telah memahami seluruhnya isi kandungan dari ayat-ayat Al-Qur’an. Ataupun ketika menyaksikan teman santri lainnya mampu menyelesaikan pelajaran ilmu nahwu dengan hafal bait-bait Alfiyah yang seribu baris lebih maka seketika dalam benak mengatakan bahwa teman santri itu telah menjadi Alim dibidang muhadatsa (percakapan/conversation). Ataupun pada kesempatan lain ketika mendapati seorang santri mampu bercakap-cakap-secara lancar- berbahasa arab lantas dengan sendirinya ia telah menguasai berbagai cabang ilmu agama yang diajarkan di pesantren: ilmu fiqh, tafsir, aqidah, akhlaq tasawuf dan lain sebagainya.
Hafal Al-Qur’an, cakap berbahasa-sekali lagi- hanya sepersekian dari luasnya medan pengetahuan. Berhenti pada menghafal ataupun merasa cukup dengan cakap berbahasa adalah kekeliruan epistimologi karena hanya membatasi ruang pengetahuan hanya sekedar menghafal dan berbahasa.
Gus Mus, KH Musthofa Bisri pada satu kesempatan menyitir satu hadis Nabi, menyatakan ketika seseorang merasa pandai maka saat itulah dimulainya kebodohan. Makna merasa pandai dalam ini tentu saja berhenti membaca menambah pengetahuan.
Bahkan ayat pertama turun kepada Nabipun berkisar tentang membaca: IQRA’ bukan tentang perkenalan Tuhan pada manusia, ataupun petunjuk Tuhan tentang beribadah. Tapi perintah MEMBACA kepada Nabi dan diteruskan perintah itu kepada umat manusia secara umum bukan pada umat islam saja. Dengan kegiatan pembacaan yang terus menerus maka dengan sendirinya hijab Tuhan sebagai pencipta akan terbuka;
Iqra’ bismirobbikal ladzi kholaq. Kholaqol insane min alaq.(Q.Al-Alaq1-2)
Banyak pelajaran bagus dapat kita petik dari orang-orang besar sebelum kita, soekarno umpama. Betapa luas pengetahuan beliau punya. Pengakuan keluasan ilmu pengetahuan pernah terluncur dari bung Hatta ketika sama-sama pada masa pergerakan nasional. Komentar beliau tentang kawannya itu bahwa bungkarno seorang pembaca buku yang baik. Salah satu karya terbesar pendiri bangsa kita itu adalah mensintesa ideologi-ideologi besar dunia dan agama kedalam pancasila yang kita jadikan dasar Negara.
Pernah dalam satu pembekalan menjelang tahun ajaran baru sekolah seorang nara sumber mengatakan bahwa Negara kita berada pada urutan bawah dalam minat baca. Katanya lagi level kita ditingkat asia masih dibawah Malaysia,singapura, lebih-lebih korea dan jepang. Kemudian penulis Tanya,” apa yang menjadi factor terpuruknya bangsa ini?kulturkah atau system pendidikan nasional kita yang tidak mendorong peserta didik untuk giat membaca? sebegitu akutkah penyakit enggan membaca menjalar ditubuh anak bangsa ini?
Pemerintah bisa jadi salah menerapkan system pendidikan nasional tapi semua itu berpulang pada diri kita masing-masing sejauh mana memupuk minat baca kita dan bagaimana sikap dan pandangan kita tentang pengetahuan. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah dalam hal pendidikan. Yang perlu kita sorot harusnya pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan dan arus informasi, selebihnya adalah mentalitas kita dan paradigma kita tentang ilmu pengetahuan.
Untuk memupuk minat baca kita kiranya baik juga menengok kembali janji Tuhan dalam firmanNya:
Tuhan pasti mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu(dari hasil belajar dan membaca) diantara kalian dengan beberapa derajat.
Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar